SORE FORE

Saya mampir ke Fore sore ini. Tidak ada tujuan khusus—hanya ingin minum kopi, duduk sebentar, dan memberi ruang sebelum kembali bekerja. Tapi seperti biasa, suasana di sini menawarkan lebih dari yang saya bayangkan. Fore selalu terasa seperti ruang terbuka tempat banyak hal terjadi bersamaan.

Di satu sudut, sepasang anak muda sedang menikmati waktu bersama. Mereka tertawa, berbagi makanan, dan tampak larut dalam percakapan ringan. Tak jauh dari mereka, seorang pria fokus bekerja di depan laptop. Matanya tak lepas dari layar, dan kopinya dibiarkan dingin begitu saja. Mungkin ia sedang mengejar deadline, atau justru mencoba melarikan diri dari sesuatu lewat kesibukan.

Yang paling menarik perhatian saya hari ini adalah dua orang yang berbincang menggunakan bahasa isyarat. Tanpa suara, tapi komunikasi mereka begitu hidup. Ekspresi wajah, gerakan tangan, dan cara mereka saling menatap menunjukkan kenyamanan dan kedekatan. Tidak perlu suara untuk tahu bahwa mereka benar-benar hadir satu sama lain.

Di dekat jendela, saya melihat seorang ibu bersama dua anak kecil dan seorang bayi di stroller. Ia duduk tenang, menikmati kopinya. Anak-anaknya bermain di sekitar, tapi ia tetap di tempat, seperti sedang memberi waktu untuk dirinya sendiri. Bukan karena tidak peduli, tapi karena ia tahu—kadang, satu-satunya cara untuk bertahan adalah memberi ruang sejenak untuk diam.

Fore sore ini terasa seperti potongan kecil dari berbagai realitas. Ada yang jatuh cinta, ada yang bekerja, ada yang terhubung dengan orang lain, dan ada juga yang hanya ingin duduk tanpa harus menjelaskan apa pun.

Saya duduk di tengah semua itu sambil menikmati segelas sea salt butterscotch dan sepotong coklat muffin. Rasanya sederhana, tapi cukup. Cukup untuk memberi ruang bernapas di sela hari. Melihat orang-orang di sekitar—yang sibuk bekerja, berbagi tawa, atau sekadar diam—saya jadi teringat bahwa tidak semua hal butuh respons langsung. Kadang, kita hanya perlu diam dan memperhatikan. Dari situ, kita belajar. Dari situ juga, kita mendapatkan arah.

Mungkin itulah bentuk feedback yang paling alami—bukan evaluasi atau koreksi, tapi isyarat halus dari kehidupan: bahwa kita masih bergerak, masih bisa memperbaiki arah, dan masih punya kesempatan untuk terus melangkah.***