Saya sering mendampingi guru-guru belajar tentang banyak hal—mulai dari strategi pembelajaran, komunikasi efektif, hingga pengembangan diri. Salah satu topik yang cukup sering saya angkat adalah growth mindset, pola pikir yang percaya bahwa kemampuan seseorang tidaklah tetap. Ia bisa berkembang, asal ada kemauan untuk terus belajar, berlatih, dan membuka diri pada proses.
Topik ini terasa sangat relevan di ruang kelas, terutama ketika guru menghadapi tantangan mengajar atau murid merasa kesulitan memahami pelajaran. Tapi siapa sangka, pelajaran paling membekas tentang growth mindset justru datang dari tempat yang sangat dekat dengan saya: dapur rumah sendiri—ruang yang selama ini saya anggap sebagai “wilayah kekuasaan”.
Banyak orang mengenal saya sebagai perempuan yang pandai memasak. Teman-teman sering meminta saya untuk memasak resep baru. Mereka ingin mencicipi hidangan khas buatan saya. Memang, memasak bagi saya bukan sekadar rutinitas—ia adalah ekspresi. Saya senang bereksperimen, bermain dengan rasa, dan bisa menyulap bahan sederhana jadi sajian yang spesial.







Tapi suatu hari, saya justru belajar sesuatu yang sangat berarti dari seseorang yang jarang menyentuh kompor: suami saya.
Berbeda dengan saya yang mengandalkan intuisi saat memasak, suami saya justru sangat presisi. Ia akan bertanya, “Takaran garamnya berapa gram?” atau “Mericanya berapa gram?” Awalnya saya menertawakannya—buat apa semua dihitung sedetail itu? Bukankah memasak itu soal rasa?
Tapi saat kami memasak bersama, saya melihat sesuatu yang selama ini terlewat. Ketika saya mulai menuliskan resep untuk dibagikan ke orang lain, saya menyadari betapa pentingnya presisi, terutama bagi mereka yang belum terbiasa di dapur. Saya mulai belajar menakar, mencatat, dan merinci proses yang sebelumnya saya lakukan secara naluriah. Ternyata, menjadi sistematis itu tak mudah. Tapi ada kepuasan baru di dalamnya.



Sejak saat itu, saya memandang dapur dengan cara yang berbeda. Bukan lagi sekadar tempat meracik bahan dan menghasilkan rasa, tapi juga ruang belajar yang kaya makna. Tempat di mana saya bisa berlatih kesabaran, merayakan kolaborasi, dan menumbuhkan kerendahan hati untuk terus bertumbuh.
Yang mengejutkan, pelajaran dari dapur ini ternyata beresonansi dengan dunia profesional saya. Saya menjadi lebih peka terhadap perbedaan gaya belajar para guru yang saya dampingi. Ada yang mengandalkan insting dan langsung bergerak, ada juga yang perlu struktur dan arahan yang jelas. Semuanya valid. Tidak ada satu cara yang lebih baik dari yang lain. Selama ada niat untuk belajar, setiap pendekatan memiliki nilainya sendiri.

Kini, setiap kali saya masuk ke dapur, saya tahu saya tidak hanya sedang memasak. Saya sedang meracik kesadaran diri, mencampur pengalaman dengan pelajaran baru, dan memanggang keyakinan bahwa proses belajar tak pernah benar-benar selesai. Bukan karena saya belum bisa—tapi karena saya tahu, selalu ada ruang untuk menjadi lebih baik.
***
Kita sering mengira bahwa pertumbuhan hanya terjadi di ruang-ruang formal: kelas, rapat, seminar, pelatihan. Padahal, banyak momen penting justru terjadi di sela-sela aktivitas harian, misalnya saat memasak bersama pasangan, saat mencoba memperbaiki resep, atau saat berdiskusi tentang rasa dan cara. Semua itu proses belajar—tentang dapur, dan juga tentang hidup.




Saya percaya, growth mindset bukan hanya milik guru, siswa, atau profesional. Ia hidup dalam diri siapa pun yang memilih untuk belajar, meski pelan. Untuk mencoba lagi, meski sempat gagal. Untuk terus tumbuh, meski merasa sudah ahli.
Jadi jika suatu hari saat kita merasa “sudah bisa,” ingatlah—mungkin ada hal kecil yang bisa membuatnya menjadi lebih baik. Dan siapa tahu, seperti saya, Anda akan menemukannya di dapur. Atau lewat seseorang yang tanpa sadar menjadi cermin dari versi terbaik diri Anda yang berikutnya. ***