Mari kita menjadi semangka sejenak. Bayangkan, kita adalah buah besar dan segar, menarik perhatian dengan warna hijau cerah dan bentuk bulat yang sempurna. Orang-orang melirik, membayangkan manisnya daging buah yang tersembunyi di dalam. Tapi ternyata, menjadi semangka tidak selalu sederhana. Di balik bentuk dan rasa yang menggoda, semangka diam-diam misterius.
Semangka itu bulat—jadi mudah terguling ke sana ke mari. Sekali tersenggol, bisa bergeser tanpa arah yang jelas. Mungkin kita pernah merasa seperti itu: sulit menentukan arah, mudah berubah pikiran. Sekilas, ini bisa terlihat fleksibel atau “adaptif,” tapi kalau keseringan? Bisa-bisa orang di sekitar jadi bingung melihat kita yang sulit diprediksi.
Di sini ada pertanyaan menarik: Apa jadinya kalau kita punya tujuan yang jelas, yang bisa jadi pegangan saat ada pilihan-pilihan sulit di depan? Mungkin hidup bisa terasa lebih terarah dan nggak terlalu mudah “glundang-glundung” hanya karena pengaruh luar.
Manis di Luar, Misterius di Dalam
Siapa yang tidak tergoda melihat semangka yang segar? Tapi begitu dibuka, isinya bisa merah cerah atau malah putih pucat. Seperti semangka, kadang kita juga terjebak di penampilan luar, terlihat baik dan menarik, namun mungkin ada hal-hal yang masih perlu dibereskan di dalam diri kita.

Ternyata, menyelaraskan “penampilan luar” dengan “isi dalam” adalah hal yang penting. Bukan cuma soal tampak baik di mata orang lain, tapi lebih ke membangun kualitas yang sejalan dengan apa yang kita tunjukkan. Ini seperti menemukan keseimbangan antara tampilan luar dan kualitas dalam.
Dan kalau diperhatikan, semangka ini sebenarnya buah yang rapuh. Sedikit terguncang saja, bisa retak. Percaya atau tidak ada banyak orang yang merasa gampang “pecah” ketika menghadapi masalah, terutama masalah kecil. Di sinilah ketangguhan diuji. Saat kita mampu menghadapi situasi sulit dengan kepala dingin, mungkin kita bisa melewati hari-hari tanpa mudah hancur.
Menariknya, untuk jadi lebih kuat, kita nggak perlu langsung berubah besar-besaran. Hal-hal kecil seperti ngobrol dengan teman, atau sekadar istirahat sejenak juga bisa membantu menjaga ketenangan dan ketangguhan kita. Siapa sangka, kan?
Jangan Hanya “Menghibur,” Cobalah Memberi “Nilai”
Semangka sering jadi bintang saat acara keluarga atau piknik, karena sifatnya yang menyegarkan. Tapi setelah acara selesai, mungkin keberadaannya mudah dilupakan. Ada pelajaran kecil di sini: bagaimana kalau hidup ini bukan hanya sekadar hadir saat dibutuhkan? Bagaimana kalau kita bisa meninggalkan dampak, meskipun kecil? Kehadiran yang bermakna sering kali bukan soal jadi yang paling mencolok atau sering tampil. Kadang, justru hal-hal kecil yang positif—senyum, perhatian, atau bantuan kecil—yang bisa membuat kehadiran kita lebih berkesan.

Pada akhirnya, semangka akan dipotong, dinikmati, lalu habis begitu saja. Tapi bagi manusia, akhir hidup bisa lebih dari sekadar “habis.” Setiap tindakan baik atau jejak positif yang kita tinggalkan bisa menjadi warisan kecil yang bertahan lama di ingatan orang-orang. Hidup bisa lebih bermakna ketika kita mencoba memberi dampak, nggak selalu harus besar atau spektakuler, tetapi cukup berarti bagi orang-orang di sekitar. Siapa tahu, kebaikan-kebaikan kecil ini bisa jadi “rasa manis” yang bertahan jauh setelah kita tiada.

Mungkin filosofi “glundang glundung koyo semongko” ini terlihat sederhana, tapi ternyata ada banyak yang bisa dipetik. Semangka mengajarkan kita soal keseimbangan antara apa yang terlihat dan yang sebenarnya, soal ketangguhan, dan soal meninggalkan jejak yang berarti.
Hidup ini tidak selalu harus sempurna atau serba terencana. Ada kalanya kita terguling, merasa rapuh, atau hanya jadi pelengkap di tengah orang lain. Tapi ketika kita mulai memberi makna, menyelaraskan hati dengan tindakan, dan terus berkembang, siapa tahu hidup kita jadi lebih dari sekadar “glundang glundung koyo semongko.”
FUNGIE