Sad but True..

Selamat kepada para pengantin baru yang secara agama dan negara sudah sah menjadi pasangan suami istri. Hidup terasa begitu indah bukan? Sebagai pengantin baru, tentunya setiap detik diliputi pikiran dan perasaan yang sangat menyenangkan. Dunia tampak indah, tertata rapi dan tanpa cela. Beberapa yang sudah memikirkan akhirat mulai menunggu datangnya pahala yang berlimpah karena menikah adalah ibadah. Pasangan menikah pasti sangat paham bahwa a life-long marriage yang dijalani harus diselesaikan hingga ajal memisahkan. Karena janji pernikahan adalah janji antara manusia dengan Tuhan.

Beberapa calon mempelai wanita rupanya sudah ada yang merancang pernikahannya sejak mereka beranjak remaja. Contohnya sepupu perempuan saya yang saat ini masih di kelas 5 SD. Ia ingin menikah dengan pria tampan, pintar, muda, lancar berbahasa Inggris dan kaya raya. Rencananya ia akan menikah di Hotel Alila Solo saat berumur 23 tahun kelak. Pada dasarnya saya ingin tertawa, namun saya batalkan karena akan menyebabkan demotivasi rencana menikahnya.

Sebagai wanita yang sudah menikah, saya memang selalu mendorong wanita-wanita yang saya kenal dengan baik supaya menikah. Disekitaran saya bersliweran wanita single yang menduduki posisi penting di perusahaan nasional maupun multinasional. Mereka pintar, cantik, matang, dan mapan. Namun mereka tidak meletakkan menikah sebagai prioritas utama. Inilah salah satu alasan mengapa saya tidak menertawakan sepupu saya tentang cita-citanya menikah. Bahkan saya memberi semangat supaya sepupu saya membekali hidupnya dengan selalu berbuat baik, menjadi wanita yang punya reputasi baik, belajar dengan baik, patuh pada orang tua, tidak suka bergunjing, menjalankan perintah agama, dan tidak melakukan kesalahan fatal dalam hidupnya. Kabarnya, wanita baik-baik akan bertemu dengan laki-laki yang baik juga. Saya mempercayai hal ini karena saya mengalaminya. Sebagai wanita masa kini, saya tidak sungkan menyebut diri saya wanita yang baik. Oleh sebab itu saya dipertemukan dengan laki-laki baik sebagai pasangan hidup.

Sebelum menikah, saya sering mendapat pertanyaan dan saran-saran supaya saya segera menikah. Tak bisa dipungkiri, terkadang pertanyaan-pertanyaan dan saran-saran itu sering membuat pikiran dan perasaan saya berlumuran derita. Saat saya berumur 28 tahun, Tante saya mengatakan, “Segeralah menikah, mumpung menikah masih usum (musim).” (Dalam hati saya berkata, memangnya durian?). Saya sangat mempercayai pertemuan seorang wanita dengan jodohnya sudah diatur oleh Tuhan dengan sangat rapi. Saya menikah saat saya berumur 32 tahun (sementara suami 41 tahun).

Tidak banyak yang tahu ingredients pernikahan saya ada 5, yaitu interesting, exciting, traveling, shopping dan intriguing. Beberapa pasangan lain mungkin menyertakan gambling, dan itu sah-sah saja.

Tidak bisa dipungkiri berbagi kehidupan dengan orang yang sangat dicintai seumur hidup tidaklah mudah. Di awal pernikahan, semua tampak sangat baik dan sempurna. Seiring berjalannya waktu, akan hadir rentetan kisah nyata yang mencengangkan yang memerlukan penanganan logis, realistis namun tetap tidak melupakan luapan cinta yang mendalam. Komitmen untuk selalu bersama dalam keadaan apapun tidak boleh lepas.

Kalau diilustrasikan, pernikahan saya mengalami perjalanan seperti tampak pada gambar yang saya sertakan ini. Saya mengawali pernikahan di area comfort zone. Seingat saya, area aman itu terjadi sekitar satu sampai dua tahun pertama. Selanjutnya, seiring dengan berkembangnya gagasan dan perasaan, meningkatnya kesejahteraan, hadirnya interaksi sosial dan budaya, pernikahan saya masuk di jalur fear zone. Apakah saya sengaja memasuki jalur fear zone? Yes. Mengapa? Karena saya ingin memiliki kehidupan pernikahan yang lebih baik. Selama hampir 5 tahun saya berada di zona ini, saya dan suami menyertakan serentetan tindakan yang lugas, pikiran yang logis, dan penuh semangat untuk terus saling mencintai dan menjaga. Lima bumbu pernikahan saya (interesting, exciting, traveling, shopping dan intriguing) bercampur aduk menghadirkan rasa yang bernacam-macam.

Saya mau cerita sedikit tentang istilah Throw Back Thursday (TBT) dalam jagat media sosial. Biasanya TBT ditulis dengan tagar seperti ini: #TBT. Istilah ini biasa digunakan untuk bernostalgia dengan foto-foto yang pernah dibagikan lewat media sosial. Sejalan dengan ide #TBT, saya ingin #TBT pikiran dan perasaan saya saat saya memasuki fear zone. Saya pernah berpendapat demikian terhadap suami saya, #TBT : “dulu saya memilihnya karena ia sangat berbeda dari siapa pun yang pernah saya temui. Ia mengisi kekosongan saya. Ia punya celah, saya punya celah. Saya ingin bersama-sama mengisi kekosongan hidup hingga kehidupan saya selesai. Tapi sekarang saya sering menjadi sangat marah karena apa yang ia katakan dan lakukan tidak sesuai dengan apa yang saya pikirkan.”

Terus terang saya memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menghargai perbedaan-perbedaan dalam pernikahan. Sampai hari ini pun saya masih mengembangkan akan menjadi siapa diri kami selanjutnya. The goal is continually changing. Saya dan suami masih belajar, masih sering gagal, tetapi selalu berkeinginan untuk terus memperbaikinya. Saat ini usia pernikahan saya sudah 14 tahun. Saya katakan saya sudah berada di learning zone (selama bertahun-tahun). Kini tiba saatnya saya bersiap memasuki growth zone. Saya sangat yakin zona ini akan sangat mendebarkan. Saya pernah bertanya pada kenalan saya yang sudah menikah selama 30 tahun tentang rahasia pernikahannya yang masih segar bugar. Jawabnya mengagumkan, yaitu menggunakan formalin cinta dan doa. ***

FUNG IE

***