The Joy of Cooking

Suhu pagi ini sekitar 6 derajat C. Supermarket tidak jauh dari tempat saya tinggal, berjalan kaki hanya 10 menit. Sebagai pasangan yang suka memasak, pergi ke supermarket tentulah menggairahkan. Dan bagi saya supermarket adalah Disneyland saya. Bila keluar negeri, supermarket dan pasar adalah tempat wajib yang harus dikunjungi.

Hari ini saya belanja di Waitrose supermarket di kawasan Nine Elms, UK. Suami berencana masak cah brokoli, sementara saya ingin masak soto ayam untuk sahabat baik kami di London. Kami akan memasak di apartemennya di Thorne House, Nine Elms.

Sebelum memasuki Waitrose, ada counter bunga segar yang jarang saya temukan di Solo. Saya diminta memilih bunga yang saya sukai oleh suami saya. Saya bertanya, untuk apa mesti membeli bunga? Jawabnya sangat simpel. Bunga yang saya pilih adalah pernyataan rasa cintanya pada saya.

Sebelum berangkat ke Inggris, saya membawa banyak bumbu dari Indonesia. Saya membawa 3 koper ke Inggris, yang dua berisi baju dan sepatu, yang lain berisi bumbu dan makanan dari Pasar Gede. Beberapa teman dan keluarga yang tinggal di Inggris menunggu-nunggu kedatangan “tamu-tamu” dari Pasar Gede. (Baca: rempeyek, sambel pecel, karak, klengkam (balado kentang), aneka bumbu instan, srundeng, abon, dan lain-lain).

Saya dibesarkan di lingkungan dan memiliki darah yang gemar memasak. Ibu saya adalah pemasak yang sangat baik. Beliau menguasai banyak masakan mulai dari kue-kue, masakan Jawa, masakan Eropa dan aneka cake. Saya masih ingat mulai umur 6 tahun hingga 12 tahun, ibu saya selalu membuat kue ulang tahun 4 susun. Sewaktu kecil, saya selalu merayakan ulang tahun. Setelah saya tumbuh dewasa hingga menua, saya (sebisa mungkin) menyembunyikan tanggal ulang tahun saya. Namun tidak selalu berhasil karena banyak sahabat dan family yang mengingat diluar kepala.

Bapak dan Ibu saya membesarkan kami berdelapan (sebagian besar) dari keahlian ibu memasak. Sebagai tukang masak, Ibu saya handal. Ibu saya menyediakan makan siang harian untuk beberapa Bank di Solo. Beliau juga sering dipanggil ke Jakarta untuk memasak di rumah pejabat-pejabat di Jakarta sekitar tahun 1980-an. Pejabat di Jakarta mengenal Ibu saya sebagai tukang masak spesialis masakan Jawa untuk selametan. Kalau ke Jakarta, Ibu saya naik kereta api Senja Utama.

Menurut cerita Bapak saya, kakek saya adalah tukang memasak di Keraton Mangkunegaran pada jaman Belanda. Bersama dengan para abdi dalem Keraton Mangkunegaran lainnya, kakek saya belajar memasak dari tukang masak yang didatangkan langsung dari Perancis oleh Raja Mangkunegaran dan Jendral Belanda pada waktu itu. Saya tidak tahu kebenaran cerita ini. Namun menurut Bapak saya valid. Bapak saya memperoleh cerita ini dari Eyang Sastrodinomo yang mengasuh Bapak saya sejak kakek saya meninggal. Bapak saya menjadi anak yatim sejak berusia 12 tahun.

Kembali kepada hal masak memasak, seluruh keluarga saya suka memasak. Keahlian ini menurut saya berlaku turun temurun. Kakak laki-laki sayapun pandai memasak. Kakak perempuan saya yang nomer 6 pintar membuat masakan pedas. Kakak perempuan saya yang nomer 5 menerima pesanan tumpeng dan makanan kecil di Jakarta. Dua kakak saya yang nomer 2 dan nomer 4 memiliki restoran. Kakak saya nomer 7 spesialis membuat smoothies dan makanan sehat lainnya. Saya tidak memiliki spesialisasi karena saya memasak dan membuat kue apa saja. Terlebih sejak saya menikah, referensi saya soal masakan western dan aneka masakan melayu ebih baik.

Saat saya melamar suami saya, saya menanyakan apakah beliau suka memasak. Suami saya bercerita bahwa saat dia kuliah di Amerika, dia bekerja paruh waktu di coffee shop dan toko brownis. Dia bisa membuat coklat dan beberapa kue berbahan dasar coklat. Selanjutnya dia menjadi tukang cuci piring di restoran ternama milik Wolfgang Puck di California. Hingga pernikahan menginjak tahun ke 14, saya sering dimanjakan oleh masakan suami saya yang lezat. Anehnya dia tidak bisa membuat masakan yang sama 2 kali. Beliau hampir mirip dengan pelukis terkenal dimana hasil lukisannya tidak ada yang sama. Menurut keyakinannya, masakan adalah karya seni yang bisa dimakan.

Bagi saya, memasak untuk pasangan hidup kita adalah ungkapan perasaan cinta yang mendalam. Masak bersama memiliki kemampuan menyatukan perasaan-perasaan terselubung pasangan suami istri. Sementara menurut suami saya, “Memasak bersama istri adalah cara yang bagus untuk menumbuhkan komunikasi yang lebih sophisticated.”

Akhir-akhir ini, selera makan saya dan suami mengalami sedikit perubahan. Sebagai perempuan bergolongan darah O, saya sebetulnya sangat menyukai daging merah. Menurut keyakinan saya, apabila saya kurang makan daging, tubuh saya tidak nyaman dan seolah-olah saya tidak bisa berpikir baik. Namun seiring dengan keputusan suami memilih jalur semi vegetarian, saya mulai menyesuaikan. Daging merah dan ayam hanya sekali-kali saja dimakan. Makanan pokok berubah menjadi sayuran, buah dan ikan. Setiap hari kami makan sayur dan buah berlimpah. Untuk kebutuhan karbohidrat, terkadang makan nasi dan kentang. Kami juga berolahraga bersama supaya badan tetap sehat. Hanya ada 1 pilihan saat ini dalam hidup saya, yaitu selalu bersama-sama. ***