This is life, not heaven

Tanpa disadari saya sudah menikah selama hampir 14 tahun. Yang terucap dari hati saya saat ini adalah rasa syukur yang tidak berkesudahan karena dipertemukan dengan laki-laki yang baik untuk menemani hidup saya sejak saat itu hingga akhir hayat kelak. Menikah bukanlah sekedar perbuatan yang diawali oleh tindakan laki-laki mengejar perempuan atau perempuan mengejar laki-laki karena cinta, namun masalah komitmen. Yaitu komitmen untuk saling tertarik, saling nyaman dan saling mempercayai seumur hidup. Salah satu perasaan sangat lazim yang dirasakan oleh orang yang menikah adalah rasa nyaman yang berlebihan saat bersamanya dalam situasi apapun. Baik saya dan pasangan benar-benar menjadi diri sendiri dan apa adanya selama 14 tahun ini. Saya merasa damai, bahagia, hingga terkadang tidak menginginkan orang lain. Sulit dipercaya bahkan saya tidak membutuhkan tempat yang romantis asal bersamanya.

Jauh sebelum saya berpasangan dengan my other half, beberapa kali saya menjalin hubungan cinta namun kandas. Kisah cinta saya hampir mirip dengan kisah cinta pada lagu Cintaku Kandas milik Syahrini. Perihal rasa cinta yang kandas membuat saya semakin yakin masalah cinta memang berhubungan dengan takdir. Dengan siapa kita akan berpasangan sudah digariskan oleh Tuhan. Manusia menjalankan ketetapan itu dengan iman yang dimilikinya.

Pada umur 18 tahun hingga beberapa tahun didepannya, saya pernah menjalin hubungan rasa nyaman dengan seseorang yang memikat. Saya mencintainya karena laki-laki tersebut begitu tulus mencintai saya. Tak lama berselang, dengan kondisi jarak yang sangat jauh, tak bisa dipungkiri rasa nyaman, rasa saling tertarik dan rasa saling mempercayai pudar tanpa saya tahu sebabnya. Tiba-tiba saja perasaan itu hilang tanpa penjelasan. Hingga hari ini pun saya tidak tahu mengapa hilang. Dengan keberanian yang sangat sedikit, saya menyudahi hubungan tersebut dengan goresan luka yang dalam. Seiring berjalannya waktu, tidak ada hal lain yang bisa dilakukan selain melangkah maju dan melupakannya. Saya pernah beberapa kali mendoakannya supaya dia mendapatkan istri yang lebih baik dari saya dan memiliki keluarga yang bahagia.

Selanjutnya, seorang Jepang pernah hadir beberapa saat dihati dan membuat saya begitu menyanyanginya. Namun hubungan tidak bisa berlanjut karena kendala bahasa yang mencekam. Rasa nyaman, rasa saling tertarik dan rasa saling mempercayai sering tertukar karena masalah bahasa. Sebetulnya saya dapat merasakan dan mengenali tanda-tanda apakah dia jodoh saya atau bukan melalui beberapa tindakan. Salah satunya, apakah dia selalu hadir pada masa sulit saya dan berusaha melengkapi hidup saya. Apabila jodoh berarti dia akan mempermudah hidup saya dan tidak membuat hal yang sederhana menjadi lebih rumit.

Saya menulis cerita ini pada tanggal 9 April 2019 dalam perjalanan saya dari Singapura menuju London. Lampu di dalam pesawat sudah digelapkan karena diharapkan para penumpang tidur. Perjalanan ini baru separuh jalan namun saya tidak merasa lelah. Perasaan nyaman, bahagia dan damai memenuhi hati saya karena seseorang menemani saya mengetik tulisan ini. Dia tidak tahu diam-diam saya sedang membahas tentang dirinya. Pada kesempatan inipun saya ingin mengakui bahwa saya jatuh cinta kepadanya sejak awal bertemu hingga hari ini dan seterusnya hingga Tuhan memanggil saya kelak. Dalam setiap doa, saya selalu meminta kepada Tuhan supaya kelak saya meninggal terlebih dahulu sebelum dia. Saya berkeyakinan saya tidak bisa hidup tanpanya. Dia tidak perlu tahu tulisan ini. Namun kepada orang-orang yang mengenal saya, saya ingin memberitahu bahwa saya sangat bahagia menjadi istrinya. Terimakasih sudah menerima saya dengan segala kekurangan yang sangat banyak yang saya miliki. *** to be continued