Maybe the inspirational quotes are the problem.

Part-1

Sebagai apresiasi telah bekerja tidak santai selama setahun (2018), saya memberi penghargaan pada diri sendiri untuk makan enak di beberapa tempat dan kota yang berbeda-beda setiap hari. Harapan saya, setelah membaca tulisan ini, sebagian tergoda untuk berkunjung ke warung-warung yang saya datangi. Perlu saya tegaskan bahwa tulisan ini bukan endorsement, sebab saya membayar semua makanan dengan uang sendiri. Oleh sebab itu semua opini tentang rasa masakan dan warung yang saya kunjungi adalah independent. Pun pilihan makan siang tentunya yang bercita rasa kampung mengingat asal-usul saya sebagai wanita kampung. Kalaupun akhir-akhir ini saya sering mendeklarasikan sebagai wanita masa kini, disebabkan karena saya tertolak dari generasi wanita milenial. Saya kelahiran 1973 dimana generasi saya adalah Ibu atau kakak tua dari generasi milenial.

Mas Penjual Soto ini perwakilan dari generasi milenial. Ia sedang menyeduh kuah soto dengan tidak santai. (Soto Cak Har Surabaya)

Saya menyukai generasi milenial. Menurut saya, mereka kaum yang memiliki kepribadian dinamis, open minded, kepercayaan diri yang bagus, selalu optimis, welcome pada saran dan kritik, tidak takut gagal, termasuk saat dinasehati perbaikan diri cepat dilakukan. Saya bisa mengatakan hal ini karena kolega saya di sekolah sebagian besar kelahiran tahun 90-an. Dengan posisi sebagai leader, interaksi saya dengan generasi milenial amatlah intensif. Namun saya pun melihat celah penting yang harus segera diperbaiki oleh generasi ini, yaitu gaya hidup yang boros dan tidak gemar menabung. Tentunya ini berbeda dengan generasi tahun 70-an yang amat gemar menyimpan uang.

Ibu Penjual Salak ini mewakili generasi 70-an.

Sebagai langkah awal agenda makan siang di beberapa kota, saya memandang perlu untuk mempersiapkan diri soal kebugaran tubuh. Saya memperkirakan timbangan badan akan bergeser kekanan. Perlu saya sampaikan bahwa beberapa tempat makan yang menjadi incaran saya memancarkan karbohidrat dan lemak yang tinggi. Oleh sebab itu saya perlu mengambil langkah antisipatif yaitu berolahraga untuk mengimbanginya. Kabar bahwa rajin berolahraga mampu membantu mengendalikan berat badan sudah tersebar dimana-mana. Beberapa ada yang menyangsikan, beberapa ada yang meyakini kebenarannya (termasuk diri saya). Dengan berolahraga, timbunan lemak dalam tubuh memang akan berkurang. Selain itu badan akan sehat, lentur dan segar. Saya sendiri selalu bersyukur pada Tuhan masih diberi kesempatan berolahraga. Menurut saya, kaum yang tidak menyukai olahraga sedang bermain-main dengan kesempatan.

Saya menyadari tulisan ini berbelit-belit dan tidak langsung pada pokok permasalahan (baca: judul tulisan). Fortunately, saya tidak memiliki editor dalam blog ini. Bayangkan apabila saya memiliki editor, satu paragraf pembuka di atas pastilah diberangus sampai hangus. Namun karena saya penulis merangkap editor utama (penguasa tunggal di blog ini), paragraf diatas tetap saya pertahankan. Sebab saya ada kepentingan menyindir beberapa sahabat yang tidak menyukai olahraga.

***

Rabu 26 Desember 2018 – Kalasan

Tiga jam setelah berenang, saya pergi ke Candi Plaosan. Disana ada restoran Wedang Kopi yang memiliki menu legendaris yaitu oseng jantung pisang. Restoran wedang kopi sudah sejak lama menjadi favorit saya. Selain masakannya enak dan cocok dengan selera saya, kopinya juga sadis pahitnya. Satu cup hanya sepuluh ribu rupiah dengan kualitas kopi yang mentereng. Di restoran ini menu masakan rumahan disajikan dengan cara bersahaja, tidak berlebihan dan tidak seadanya. Kita juga bisa melihat live kitchen yang rusuh. Saya memilih beberapa menu idola yang pas dimakan dikala lapar melanda. Masakan yang saya pilih adalah nasi merah, ayam goreng sere, ikan asing, oseng jantung pisang, oseng soon, tempe dan kerupuk. Pilihan masakan memang berderet memanjang, namun sesungguhnya porsinya kecil (sesuai porsi saya). Sementara untuk minuman, saya memilih teh panas encer tawar. Satu-satunya minuman yang saya konsumsi akhir-akhir ini.

Makan siang saya pada tanggal 26 Desember 2018 di Wedang Kopi.

Sebagai wanita berusia 46 tahun, ada perbedaan yang kentara perihal porsi makan. Apabila makan terlalu kenyang akan menyebabkan kondisi badan seperti wanita yang sedang menstruasi, yaitu begah, pusing, cepat lelah, emosi tidak stabil, dan bahkan mudah tersinggung. (Apabila ada diantara sahabat yang membaca tulisan ini berstatus memiliki istri, ada baiknya mendampingi istri bila waktu makan tiba. Usahakan sang istri tidak kekenyangan. Ingat hal ini akan memicu perselisihan ringan).

27 Desember 2018 – Ambarawa

Saya menyukai ide Presiden Jokowi menyambung negeri lewat jalan tol. Tujuan dibuat jalan tol sudah jelas, yaitu mempersingkat, mempermudah dan meluruskan jalan yang berkelok. Sama persis dengan filosofi hidup saya, “mudah, pendek, lurus. Dalam waktu singkat, saya bisa berpindah-pindah dari satu kota ke kota untuk kunjungan dinas kuliner. Foto dibawah ini adalah jalan tol Solo – Semarang.

Begitu sampai di Ambarawa, saya langsung menuju Desa Ngampin untuk temu kangen dengan deretan penjual serabi kuah. Tanpa sengaja saya memperhatikan bibir para penjual serabi kuah. Kesimpulannya, semua penjual serabi kuah memakai lipstik merah menyala. Sayangnya saya tidak mencari tahu mengapa mereka memakai lipstik merah.

Serabi Kuah Ngampin, Ambarawa

Serabi Kuah Ngampin rasanya enak. Harganya hanya limaribu rupiah. Satu mangkok berisi 3-4 serabi lengkap dengan siraman kuah santan gula jawa yang membuat badan hangat. Karena saya merencanakan makan sate sapi dan lontong, saya tidak menghabiskan kuah santannya. Padahal biasanya, saya selalu menyeruput kuahnya sampai tetesan terakhir. Perlu saya ceritakan bahwa penyebab kuah santan mampu menghangatkan badan karena campur tangan doa yang kental dari para penjual serabi. Hal ini saya percayai karena sewaktu saya membuat kuah santan gula jawa di rumah, efeknya tidak berhasil membuat badan menjadi hangat. Akarnya sudah jelas (harus saya akui) saat saya membuat kuah santan, saya tidak memulainya dengan doa. Jadi amatlah wajar bila rasanya hambar.

Di Ambarawa saya makan Sate Sapi Pak Kempleng 8. Sate daging ini empuk memikat. Tenaga yang dikeluarkan untuk mengunyah sate Pak Kempleng 8 hampir nihil. (Karena saking empuknya). Tak heran meskipun saya makan 10 tusuk sate, serasa makan enam tusuk. Saya tidak merasakan kelelahan mengunyah. Bahkan sebaliknya, saya merasa kurang. Namun saya ingat satu quote penting dari Oprah Winfrey, “Be thankful for what you have; you’ll end up having more. If you concentrate on what you don’t have, you will never, ever have enough.” Lalu saya berhenti makan. Pendamping sate pun bisa dipilih sesuai selera, mau nasi atau lontong. Masalah rasa jangan ditanya. Sensasi rasanya mampu mencapai otak tengah. Kabarnya, Pak Kempleng memulai usahanya sejak tahun 1960. Dia berjualan dengan berkeliling di sekitaran alun-alun Ungaran. Sepeninggal Pak Kempleng, munculah warung sate sapi Pak Kempleng dengan judul macam-macam. Misalnya, Sate Sapi Pak Kempleng, Sate Sapi Pak Kempleng 1, Sate Sapi Pak Kempleng 2, Sate Sapi Pak Kempleng Bu Hartini. Mereka yang menjual sate sapi dengan merek Pak Kempleng masih terbilang kerabat. Bagi saya, yang paling juara adalah Sate Sapi Pak Kempleng 8 di Ambarawa.

28 Desember 2018 – Ngawi

Pada tanggal 28 Desember, saya melanjutkan perjalanan kunjungan dinas kuliner ke Ngawi. Saya melewati tol Solo – Ngawi. Menurut saya, pemandangan tol Solo – Ngawi tidak sebagus Solo – Semarang. Saya agak sedikit bosan menghadapinya. Namun karena saya ingin menjemput rejeki di Ngawi, saya gunakan saja kebosanan itu untuk melamun. Tiba di Ngawi, saya menuju warung rawon. Nama warung rawon ini “Warung Rawon.”

Warung Rawon sangat laris. Pembeli harus mengantri cukup lama. Saya memuji cara pemilik Warung Rawon membagi antrian. Antrian sebelah kiri untuk pembeli yang makan rawon di tempat, sementara yang kanan untuk pembeli yang take away. Selain menjual rawon, warung ini menjual pecel.

Menurut saya, yang istimewa dari rawon ini adalah dagingnya empuk. Sebagai penggemar rawon, saya agak kecewa dengan kuahnya. Kuah rawon ini lebih mirip semur dibanding rawon. Kuahnya encer dan manis. Rasa kluwek, miri, kunyit dan daun jeruk yang seharusnya menjadi ciri khas rawon tidak tampak dalam rasa. Meskipun demikian, masakan ini enak dan bisa dinikmati.

Masih di seputaran Ngawi, saya mencoba ke warung tahu tepo. Warungnya kecil, sempit namun laris. Saya tidak ingat apa nama warungnya. Penjualnya ibu-ibu berambut putih, jalannya “thimik-thimik”, beliau memakai kebaya dan kain lurik. Tahu tepo hampir mirip tahu kupat, namun kacangnya dihaluskan hingga mirip sambel gado-gado. Saat saya menyaksikan Ibu Rambut Putih menghaluskan kacang dan bumbunya, saya merasa iba. Tangan ibu yang kurus kering seperti keberatan memegang “ulegan’. Dalam hati saya berkata, apabila sambel kacang ini enak, pasti disebabkan karena hadirnya kerja keras menghaluskan sambal. Memang benar, kerja keras tidak pernah mengkhianati. Saat saya mencicipi sambalnya, saya tak kuasa menahan haru. Sambel kacang ini benar-benar enak. Gabungan bawang putih, cabe, gula jawa dan kuah asam, menawarkan sensasi rasa yang mengundang decak kagum. Saya sangat menyukai masakan ini. Cocok dengan lidah saya yang “ndeso”.

Nah yang paling mencekam saat saya harus berada di Sate Kambing Pak Lancur. Saya sudah mendengar kehebatan racikan sate kambing dan gule Pak Lancur. Dalam tulisan ini, saya hanya menuliskan kata, “Dahsyat” sebagai respon setelah saya makan sate kambing Pak Lancur.

Foto ini sudah saya ungguh di Google Map bulan Desember 2018. Sampai hari ini sudah dilihat sekitar 2050 kali. (Local Guide).

Bagi saya sate kambing paling enak sepanjang sejarah kehidupan manusia adalah milik Pak Lancur Ngawi. Saya sulit melupakan aroma daun jeruk nipis yang bertebaran di atas sate kambing. Itu bukan sekedar garnis, namun bagian dari bumbu. Tetiba saya mengingat sosok Martin Luther King, Jr yang pernah berkata, “Life’s most persistent and urgent question is, ‘What are you doing for others?”. Dengan demikian saya akan menjawab, “Sir, masalah Sate Pak Lancur, I don’t wanna share.” ***

To Be Continued

Tulisan “Maybe the Inspirational Quotes are The Problems,” akan terbagi menjadi dua bagian.

FUNG IE

Tinggalkan komentar