MUDAH, PENDEK dan LURUS

Website theculturetrip.com sangat menarik perhatian saya karena mampu meningkatkan kemampuan melamun saya dibidang piknik. Banyak kisah penting dan inspiratif yang saya dapatkan dari membaca artikel-artikelnya. Salah satu yang menarik adalah artikel tentang perjalanan ke Gunung Everest. Saya baru tahu (ternyata) untuk naik gunung Everest (8848m) diperlukan biaya yang tidak sedikit. Jika ditotal, biaya yang dibutuhkan mencapai US$ 70 ribu atau sekitar Rp 992 juta bila dikonversi dengan kurs rupiah saat ini. Biaya itu belum termasuk tiket pesawat dari negara asal. Fantasis!

Hal menarik lain seputar pendakian Gunung Everest adalah keberadaan Bandar Udara Lukla, Nepal Timur.

Bandara Udara Lukla, Nepal. Bandara ini berada di ketinggian 2.860 m

Bandara Lukla termasuk bandar udara yang paling sibuk di Nepal. Hal ini disebabkan karena Kota Lukla adalah pintu masuk utama bagi para pendaki Gunung Everest. Waktu tempuh naik pesawat hanya 45 menit dari Kathmandu. Konon kabarnya, 45 menit naik pesawat layaknya 2 hari duduk tegang (bukan duduk manis) di dalam pesawat. Bahkan beberapa akan berdoa tak henti-hentinya terutama saat pesawat hendak landing. Bandara Lukla memang dijuluki sebagai bandar udara paling berbahaya diseluruh dunia karena dikelilingi deretan pegunungan dan memiliki landasan pacu yang pendek, yaitu hanya sekitar 570 m. Untuk mendarat dan lepas landas, pilot tak hanya butuh kemampuan presisi yang tinggi, namun juga harus membekali dengan keberanian berlipat-lipat. Pilot berpengalaman pun tetap saja merasa grogi saat mendarat di Bandara Lukla. Bahkan pada musim-musim tertentu, bandara ini tertutup salju dan didera cuaca tak menentu. Digambarkan pula disekitar bandara angin selalu bertiup sangat kencang. Rupanya cerita mencekam tentang Bandara Lukla membuat ciut sebagian yang akan ke Lukla. Mereka yang ciut nyali dan tidak mau naik pesawat akan menempuh perjalanan dengan berjalan kaki selama 5 hari.

Jalan yang di aspal adalah landasan pacu pesawat.
Cuaca yang sering “suloyo”
Tenzing-Hillary Airport atau Lukla Airport sore hari

Apabila saya diminta ke Lukla, saya akan memilih naik pesawat dengan segala resiko yang mengikutinya. Plus jika saya mendapatkan pilot pesawat yang baru pertamakali menerbangkan pesawat ke Lukla (maka terjadilah extra terrifying). Pertimbangan saya sangat matang, yaitu, menghemat tenaga, menyimpan energi, menyingkat waktu serta melatih mental baja. Bagi saya, resiko berjalan kaki 5 hari lebih tinggi dibanding naik pesawat 45 menit. Saya membayangkan jika saya berjalan kaki, saya akan mengalami kelelahan yang akut sebelum sampai di kota Lukla. Padahal tujuan selanjutnya adalah naik gunung Everest. Lalu saya melamunkan, apabila pada hari pertama kaki saya tidak mampu berjalan (karena lecet-lecet dan lelah), mau tidak mau saya harus beristirahat dahulu supaya kondisi pulih maksimal. Artinya saya akan memperpanjang waktu tempuh, memunculkan biaya tambahan, dan tertundanya menjemput tujuan (bukan menjemput rejeki). Bandingkan apabila saya naik pesawat. Dalam waktu 45 menit, saya langsung bisa mencapai tujuan (kota Lukla), dan langsung melanjutkan tujuan berikutnya (mendaki Gunung Everest). Bahkan berlimpahnya sisa waktu yang masih saya miliki bisa saya gunakan untuk bersantai dan melamun. Lebih penting dari itu, energi saya tidak terkuras. Saya memang selalu mencari celah supaya bisa menyelesaikan satu pekerjaan dengan waktu yang singkat, dengan hasil yang bagus, dan mudah dilakukan. Banyak yang menyangka waktu yang pendek, cara yang mudah dan jalan yang lurus, memiliki resiko yang lebih kecil dibanding jalan yang panjang, lama dan (apalagi) sulit. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Pendek, mudah dan lurus, selanjutnya menjadi filosofi hidup saya yang paling baru.

Saya sangat menyukai ide cemerlang pemerintah membangun banyak jalan tol, karena sejalan dengan filosofi hidup saya, yaitu pendek, mudah dan lurus. Jalan tol berhasil meringkas waktu dan tenaga yang saya miliki. Gegara jalan tol, saya memiliki kesempatan lebar mengunjungi kota-kota yang sebelumnya tidak saya kunjungi. Bahkan saya tidak berkeberatan mencari makanan enak di 3 kota dengan jarak puluhan kilometer. Saya pernah sarapan Soto Estu di Salatiga, lalu melanjutkan makan siang Sate Kempleng 8 di Ambarawa, dan ditutup makan malam Momoh di Kendal. Pulangnya mampir ke Salatiga lagi membeli ayam Joyo, jagung rebus, alpukat, dan enting-enting di Roti Tegal. Pindah-pindah kota dalam satu hari untuk mencari makanan enak saya rasa penting untuk dilakukan. Saya membayangkan apabila tidak ada jalan tol, saya pasti tidak mau melakukannya karena melelahkan dan memakan waktu yang panjang.

Sate Pak Kempleng 8 Ambarawa yang enaknya sampai otak tengah.

Yang terbaru adalah fenomena aktifnya jalan tol Solo – Surabaya. Jarak Solo Surabaya adalah 267km dengan waktu tempuh menggunakan mobil sekitar 5 jam 46 menit tanpa melewati jalan tol. Apabila lewat jalan tol waktu tempuhnya menjadi 3 jam 32 menit. Akhir-akhir ini banyak yang berlomba-lomba dan bangga apabila berhasil menyelesaikan jarak tempuh Solo-Surabaya (atau sebaliknya), dalam waktu 2 jam. Saya perkirakan kecepatan mobil kira-kira 150km/jam. Padahal di jalan tol sudah terpampang nyata aturan kecepatan maksimal mobil 100km/jam. Anehnya beberapa pengguna jalan tol malah bangga melanggar aturan. Mengenai hal ini, meskipun waktu tempuh menjadi lebih pendek, namun tak layak merujuk filosofi “mudah, pendek dan lurus” yang saya gadang-gadang. Bagi saya, melanggar aturan adalah tindakan yang tidak terpuji. Aturan dibuat untuk diikuti supaya kehidupan rapi dan teratur. Saya menyukai semua hal yang rapi dan teratur, oleh sebab itu saya gelisah saat orang-orang terdekat dan terjauh saya melanggar aturan.

Pada tahun 2016, saya pernah berkunjung ke Muscat, Oman. Sopir yang mengantar saya kemana-mana namanya Abdullah. Dia mengatakan bahwa semua jalan di Muscat menggunakan teknologi berbasis laser untuk mengontrol lalu lintas. Sekali saja melanggar lalu lintas, seumur hidup mereka tidak bisa menyopir lagi karena SIM dicabut. Bila mobil melanggar batas kecepatan minimal atau maksimal di jalan tol, maka teknologi laser akan menyelesaikannya secara adat. Berikut adalah koleksi foto-foto jalan raya di Muscat yang masih saya simpan. Saya melamunkan, kelak, jalan-jalan di Indonesia akan sebersih dan semulus jalan raya di Muscat, Oman.

Jalan Raya di Muscat Oman
Ini bukan jalan tol, namun jalan raya biasa.
Pemandangan jalan di Muscat Oman
Lorong Jalan Layang yang bersih. Bahkan lebih bersih dari kamar saya.

Seperti ungkapkan saya pada artikel sebelumnya “Everything is possible, even the impossible,” saya telah menetapkan hati untuk mewujudkan lamunan saya, yaitu bisa bekerja enam hari dengan santai-santai, dan pada hari ketujuh beristirahat dengan cantik. Tak mudah pada awalnya, namun akan lancar selanjutnya. Tanpa pemikiran yang baik, referensi yang luas dan trial error yang memadai, lamunan saya ini tetap akan menjadi lamunan. Lamunan memang akan menjadi lamunan apabila dipahami sebagai dokumen yang tersimpan di kepala. Lamunan harus ditindaklanjuti dengan melakukannya langkah demi langkah supaya terwujud.

To be continued

Fungie

(Sumber foto Bandara Lukla: https://commons.wikimedia.org/wiki/Category:Lukla_Airport).

Tinggalkan komentar