
Saya memiliki beberapa teman yang tidak suka memasak. Alasannya macam-macam. Ada yang beralasan karena repot, ada yang mengaku tidak memiliki bakat memasak, ada yang berkata karena memasak tidak menggetarkan hati. Sebagai orang yang suka memasak, saya termotivasi untuk memberi motivasi kepada beberapa sahabat yang tidak suka memasak. Cita-cita saya tidak muluk-muluk. Supaya mereka mencoba memasak. Saya pernah memberikan buku resep pada salah satu sahabat saya yang tidak suka memasak. Buku resep tersebut saya berikan sekitar tahun 2015. Buku itu berisi ratusan resep makanan, kue dan minuman yang gampang dipraktekkan. Dari gelagatnya, saya tidak yakin dia pernah mencoba resep tersebut. Konon kabarnya, buku resep itu disimpan rapi di perpustaannya. Seolah-olah sebagai buku sakral yang apabila digunakan harus melalui prosesi yang panjang supaya tidak kualat. Dia memilih berolahraga dibanding memasak. Pada tahun yang sama, 2015, saya pernah memberikan buku resep kue-kue tradisional yang gampang dipraktekkan kepada sahabat saya yang lain. Saya memberi ide kepada sahabat saya tersebut supaya dia belajar membuat kue-kue tradisional yang terpampang nyata dalam buku resep. (Seingat saya sekitar 25 kue). Jika dia mulai belajar membuat kue pada tahun 2015, maka pada tahun 2025, dia sudah sangat mahir membuat kue. Selanjutnya dia bisa berbisnis kue hantaran yang selalu laris disetiap pesta ulangtahun, rapat, pesta pernikahan, dan aneka pesta lain yang keberatan disebut namanya. Kue-kue yang ada dalam buku resep tersebut kira-kira seperti gambar dibawah ini.

Saya pernah beberapa kali menanyakan perkembangan kemampuannya membuat kue. Namun dia selalu mengalihkan pembicaraan. Dia lebih suka membuat program belajar bagi murid-muridnya dibanding belajar membuat kue. Diapun menyebut-nyebut soal tidak adanya bakat membuat kue. Masih di tahun 2015. Saya ingat waktu itu saya masak cumi hitam, sayur bayem dan tempe goreng. Saya makan bersama beberapa sahabat di kantor. Mereka makan dengan lahap. Lalu saya bertanya pada salah satu sahabat saya yang ikut makan. Saya tanyakan apakah dia bisa menggoreng tempe. Jawabnya bisa, bahkan dia bilang lumayan enak tempe gorengannya. Saya juga tanyakan apakah dia bisa memasak sayur bayam. Dia bilang bisa. Setelah selesai makan, saya tanyakan padanya kapan kira-kira dia memasak tempe goreng dan sayur bayem buatannya. Dengan tersenyum penuh arti, dia menyanggupi untuk membuatkan. Waktu berganti, hari berganti, tahun berganti, hingga menjelang akhir tahun 2018, ada saja alasannya untuk selalu mengulur-ulur waktu memasak tempe dan sayur bayam. Sebagai sahabat baik, saya tidak memaksanya. Mungkin kegiatan memasak belum menggetarkan hatinya. (Tapi sampai kapan?).

Sebagian besar hidup kita akan menjadi otomatis apabila kita bersedia meluangkan waktu untuk melakukan suatu aktivitas secara berulang-ulang. Memasak adalah salah satunya. Semakin sering kita memasak, semakin otomatis otak kita meramu bumbu dan bahan makanan hingga menjadi masakan yang lezat. Kemampuan memasak pun mengikuti secara otomatis. Pertama kali belajar memasak, saya sangat setia pada semua yang tertulis pada resep masakan yang saya pilih. Semua bahan saya takar dengan sempurna, semua petunjuk saya ikuti dengan seksama, lalu saya praktekkan dengan sungguh-sungguh. (Sungguh-sungguh itu direstui Tuhan, oleh sebab itu sungguh-sungguh itu sungguh penting. Dalam memasakpun, saya bersungguh-sungguh). Dari ratusan kali mencoba resep masakan, tidak semua resep masakan berhasil saya eksekusi. Berkali-kali gagal, berkali-kali pula saya coba lagi hingga berhasil.

Dari mencoba dan terus mencoba resep masakan, saya pun mengenal ada ratusan resep masakan yang sebetulnya tidak baik. Resep masakan yang baik apabila ukuran bahan dan petunjuk memasak ditulis akurat. Majalah Femina selalu menguji resep-resep masakannya terlebih dahulu sebelum dimuat. Mereka memiliki Tim Dapur Uji Majalah Femina. Mereka menguji akurasi resep yang ditulis. Tak heran, saat saya menggunakan resep masakan Majalah Femina, hampir 90% berhasil. Mereka benar-benar fanatik pada akurasi.

Dibanding tahun-tahun sebelumnya, tingkat kegagalan saya mencoba resep masakan yang baru makin menurun. Hal ini disebabkan karena saya semakin baik dalam membedakan mana resep yang baik dan mana yang buruk. Resep milik Martha Stewart adalah contoh resep yang sangat baik. Ingredients bagus, directions terang benderang. Sampai hari ini saya masih belum berhasil memasak Kare Kepala Ikan ala Mamak yang enak. (Saya sangat menyukai masakan Melayu. Saya membuka website Rasa Malaysia bila ingin belajar masakan Melayu).

Bagi saya setiap kelaparan adalah kesempatan yang potensial untuk mendapatkan sensasi mencipta (di dapur). Saya mengalami pengalaman yang berkualitas saat api sudah mulai menyala, mentega sudah mulai mencair, susu sudah mulai berbuih, dan tepung terigu sudah mulai kalis. Kelezatan masakan dapat dibeli dengan mudah di restoran-restoran, namun pengalaman mencipta tidak didapat apabila perihal menciptakan makanan yang lezat diserahkan kepada orang lain. Bagi saya bila ada kesempatan mencipta, saya akan mempergunakannya dengan baik. Karena fase mencipta adalah fase tertinggi dalam tahapan berpikir. Ini sekaligus yang membedakan manusia dengan kawanan harimau, kelinci, kura-kura dan ikan tengiri. Dalam pengertian yang paling sederhana, pada saat kita lapar, masakan apapun akan terasa enak. Oleh sebab itu saat lapar mulai datang, mulailah memasak. Bila sudah terjadi hubungan harmonis antara kompor, bahan-bahan masakan dan peralatan memasak, kelezatan masakan tidak akan ternoda. *
Fung Ie