Memahami Lengho dengan Design Thinking

Saya dan Lengho resmi menjadi sahabat sejati sejak Lengho berumur 3 bulan. Saya patut berbangga hati karena berhasil menegakkan disiplin dan good habit di pagi hari pada Lengho. Setiap pukul 6.30 Lengho masuk kandang lalu makan, minum, pipis dan pup. Bila dia belum pipis atau pup, dia tidak boleh keluar kandang. Setelah itu mata dan telinganya dibersihkan. Karena kebiasaan ini sudah berlangsung selama 3 tahun, Lengho bingung apabila jam makannya berubah. Bila terlalu cepat diberi makan dia tidak menyentuh makanannya, bila terlambat dia tidak mau makan dan memilih langsung tidur. Saat Lengho kecil, saya menyikat gigi dan menyemprotkan antiseptik supaya mulutnya tidak berjamur dan bau. Namun beranjak dewasa, begitu melihat sikat gigi dan penyemprot mulut, Lengho melompat, lari kencang dan mempertontonkan trah harimau. Menakutkan. Oleh sebab itu kebiasaan ini pudar seiring dengan menurunnya kesabaran dan keberanian saya menghadapi Lengho.

Lengho tumbuh menjadi kucing yang lucu, bulat dan berperilaku aneh. Dia tidak suka didekati dan tidak suka mendekati manusia. Tidak suka berlari, tidak suka berjalan-jalan, tidak suka mandi, tidak menyukai kucing lain, tidak suka bermain, duduk berjam-jam didepan jendela (sebelas duabelas dengan Soon Hock atau Ikan Malas yang tahan berjam-jam tidak bergeser dari tempatnya), takut suara keras, takut air, takut dengan orang baru yang berbadan besar dan yang paling parah Lengho sangat malas. Tidak tampak dia memiliki cita-cita. Apalagi memikirkan dirinya saat ini. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk tidur, makan dan bermalas-malasan. Saya curiga saya salah didik pada bagian ini. Pola asuh yang salah sejak dini memang sering menjadi penyebab kekacauan permanen pada tumbuh kembang. Ironis memang, karena saya selalu mengabarkan perihal pola asuh yang benar. Oleh sebab itu, saat memberikan teori, seharusnya memang beriringan dengan prakteknya. Supaya malprosedur langsung ditangani, feedback langsung direspon, sehingga langkah perbaikan segera ditindaklanjuti untuk mendapatkan hasil terbaik.

Hal ini seiring dan sejalan dengan pola design thinking. Dalam pengertian yang paling sederhana design thinking adalah proses menciptakan ide-ide baru yang inovatif untuk memecahkan masalah. Pola design thinking bisa diterapkan untuk daily life. Karena sesungguhnya design thinking itu bukan sekedar proses, namun mindset. Mindset design thinking akan sangat dibutuhkan untuk menjalani kehidupan abad 21. Karena saya yakin akan menjalani abad 21, maka saya mempersiapkan diri dengan terus berlatih menggunakan design thinking dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam prosesnya, ada lima fase dalam design thinking. Yaitu empathise, define, ideate, prototype dan test. Design thinking mengedepankan human center approach, artinya proses berpikir terfokus pada manusianya sendiri. Oleh sebab itu fase pertama design thinking adalah empathise. Proses ini melibatkan pengamatan, keterlibatan, dan empati dengan orang yang membutuhkan solusi inovatif. Pada fase ini akan ditemukan masalah yang harus dipecahkan, kebutuhan yang harus dipenuhi, dan tantangan yang harus ditaklukkan. Ketrampilan memahami masalah, menyelami pengalaman dan mencermati cara kerja motivasi dibutuhkan.

Seperti layaknya sahabat, saya juga pernah mengalami hubungan pasang surut dengan Lengho. Kami pernah memiliki 5 masalah pelik yang harus diselesaikan. Masalah pertama soal perilakunya yang bossy, tidur terlalu lama dan sangat malas. Sementara saya bekerja kuat dari pagi hingga malam, dia enak-enakan tidur dan bermalas-malasan. (Saya pernah mengumpat). Masalah kedua soal pup dan pipis. Terkadang saya merasa tidak sreg harus mengurus pekerjaan membersihkan pup dan pipis. Karena selain saya mencium bau yang tidak sedap, Lengho seolah-olah memerintah dan mengancam saya untuk segera membereskan kotorannya. (Perihal pup, saya juga pernah mengumpat). Masalah ketiga soal gaya hidupnya. Tiap bulan Lengho harus medical check up dan suntik vitamin, ke salon untuk perawatan bulu, gigi, kuku, kutu, telinga dan mandi. (Gaya hidup bulanannya sudah melebihi saya). Masalah keempat tentang sikapnya yang datar. Ini yang paling meresahkan perasaan saya. Permasalahan nomer 1-3 bukan masalah besar, namun nomer 4 adalah masalah besar. Mengapa saya tidak mendapatkan sikap nice yang saya harapkan dilakukan oleh Lengho? Sepele saja, dipanggil pun tidak mau menengok. (Rupanya bibit sombong sudah tumbuh subur pada Lengho). Masalah kelima, Lengho mengontrol saya, bukan sebaliknya. Seharusnya saya yang menyetir dan mengontrol dia. Padahal pekerjaan saya di kantor membuat sistem kontrol, namun saya kalah dengan trah harimau itu. Dengan demikian Lengho membalikkan keadaan.

Mulailah saya mengidentifikasi masalah. Disinilah kebesaran jiwa diuji. Ternyata masalah bukan berasal dari Lengho, namun dari diri saya sendiri. Ada gap yang menganga antara harapan dan kenyataan yang saya hadapi. Tidak ada pilihan lain kecuali segera bertindak dan menyelesaikan masalah (saya sendiri). Dalam kasus ini saya merangkap 2 jabatan, sebagai designer sekaligus sebagai user. Tindakan pertama yang saya lakukan adalah merumuskan masalah pelik ini (‘pelik’ karena mengganggu pikiran dan perasaan saya). Dalam design thinking fase ini disebut define, dimana saya mendefinisikan masalah saya. Saya membuat DPS (Define Problem Statement) sebagai pijakan awal saya membuat solusi terbaik. Rumusannya adalah saya perlu menambah pengetahuan soal tumbuh kembang dan perilaku kucing Persia, sejak saya mempersonifikasikan Lengho. Apabila pengetahuan saya soal tumbuh kembang kucing lebih baik, kemungkinan besar masalah saya tertangani dan cara saya merawat Lengho akan lebih baik.

***

Saya mulai mencari informasi awal tentang perkembangan kucing dari lahir hingga senior untuk brain storming. Menurut http://www.catster.com, kucing Persia memiliki ciri tubuh agak bulat, berat, dan kakinya pendek. Tak heran bila kucing Persia malas melakukan aktivitas. Mereka lebih memilih nongkrong berjam-jam didekat jendela yang diterangi matahari daripada menjelajah rumah. Sebagai hewan predator, kucing membutuhkan waktu yang lama untuk tidur. Dengan tidur maka akan terkumpul energi. Energi ini nantinya digunakan untuk berburu mangsa karena kegiatan berburu mangsa sangat melelahkan dan membutuhkan kekuatan besar. Tiba-tiba saya teringat kebiasaan Lengho yang selalu memburu cicak bila malam tiba. Matanya menatap nanar pada mangsa. Bila Lengho berhasil menangkap cicak, dia akan memakan buntut cicak setelah itu muntah-muntah. (Memang kucing aneh).

Informasi dari meow.com mengatakan waktu tidur kucing berbeda-beda tergantung usianya. Untuk anak kucing usia 8-12 minggu, waktu tidurnya sampai 20 jam perhari. Sementara kucing dewasa umumnya tidur sekitar 15-18 jam perhari. Kucing dewasa sudah mampu beradaptasi dengan ritme harian manusia. Oleh sebab itu saat manusia tidur malam, mereka pun ikut tidur meskipun secara alami, kucing termasuk hewan nocturnal (aktif di malam hari). Sedangkan kucing senior seiring bertambahnya usia membutuhkan waktu tidur siang dan malam lebih lama dibanding kucing dewasa. Rata-rata 20 jam perhari. Kucing senior senang tidur di permukaan yang lembut dan hangat atau tempat-tempat baru yang terlihat nyaman. Dia senang tidur di bantal, kasur, atau tumpukan kain yang bersih. Melihat ciri-cirinya, Lengho termasuk kategori kucing senior. Dia mulai senang tidur di sofa, karpet, atau di atas bantal. Dalam artikel tersebut juga dikatakan bahwa usia satu tahunnya manusia sama dengan usia 17 tahunnya usia kucing. Dengan demikian bila saat ini usia Lengho 3 tahun, maka usia versi kucing 51 tahun (6 tahun lebih tua dibanding saya). Artinya, kalau saya ingin berlaku sopan terhadapnya, seharusnya saya memanggil Mas Lengho atau Kakak Lengho.  

Perihal makanan kucing, Dokter Bambang Irawan mengatakan bahwa daging dan ikan merupakan makanan utama kucing karena kucing membutuhkan asupan protein, asam lemak, asam amino dan vitamin yang tinggi. Khusus untuk jenis kucing Persia, karena bulunya banyak perlu diberikan nutrisi khusus untuk bulu supaya bulu tidak mudah rontok. Apalagi Indonesia negara tropis, kemungkinana bulu rontok pada kucing sangat tinggi.

***

Kini tibalah saatnya membuat solusi. Saya menyadari bahwa saya lebih suka mengusahakan apa-apa sendiri. Sejak lahir saya sudah dididik mandiri oleh Bapak dan Ibu saya. Saya dibiasakan menguasai banyak hal supaya bisa mandiri. (Rupanya didikan ini tak bisa terhempaskan). Bila suatu pekerjaan bisa dilakukan sendiri, bantuan orang lain menjadi alternatif kesekian. Pun saya suka menyendiri dan lebih suka belajar sendiri. Oleh sebab itu, saya memilih membeli buku sebagai solusi masalah saya. Buku yang saya butuhkan adalah buku yang tidak hanya menjelaskan cara merawat kucing (khususnya kucing Persia) namun juga memberi pengetahuan penting bagaimana sebaiknya pemilik/yang merawat kucing melakukan konsolidasi secara psikologis dengan kucing yang dirawatnya.

Saya mencari buku di Amazon. Amazon menjadi toko tujuan  pertama karena Amazon tempat belanja buku favorit saya. Selain itu saya memiliki Kindle. (Dengan harapan saya bisa membaca melalui Kindle). Kindle menjadi andalan saya dalam membaca buku dan merupakan device penting tiga tahun terakhir ini. Kemanapun saya pergi, saya selalu membaw Kindle. Saya sudah jarang membeli buku hard copy, kecuali buku karangan penulis Indonesia. Dengan e-book saya merasa lebih ringkes dan tidak perlu repot menyimpan buku-buku saya. Ada 3 “buku (termasuk e-book dan audiobook) menarik yang saya temukan di Amazon. Pertama Cat Sense karya John Bradshaw, kedua The Persian Cat karya Dr. Gordin Roberts BVsc MRCVS dan ketiga Persian Cats karya Rosemary Kendall. Saya sengaja memilih buku yang berbahasa Inggris supaya reading comprehension saya meningkat.

Setelah saya pelajari satu persatu, buku The Persian Cat dan Persian Cats tidak tersedia e-book, Amazon hanya memiliki hard copy, dan pengiriman bisa memakan waktu 2-3 minggu. Sedihnya, 2 buku tersebut tidak bisa masuk Indonesia. Satu-satunya jalan, saya harus menggunakan alamat rumah di Singapore. Saya menolak (sendiri) buku yang saya ajukan (sendiri) karena tidak sesuai dengan keinginan saya untuk memiliki e-book dan prosesnya panjang dan berliku.

Akhirnya saya memilih membeli audio book “Cat Sense” karya John Bradshaw karena sesuai dengan gaya hidup wanita masa kini (saya selalu menyebut diri saya WMK – wanita masa kini) dimana saya menjalani hari-hari yang simple, fungsional (bermanfaat bagi orang banyak dan melihat “fungsi” sebagai konsiderasi utama dalam memutuskan sesuatu), menggunakan teknologi untuk menunjang kehidupan sehari-hari dan multi tasking. Dengan audio book, saya bisa mendengarkan buku tersebut sambil olahraga, atau sambil melukis, atau saat dalam perjalanan, dan apabila saya hanya ingin fokus mendengarkan, maka saya akan belajar listening dalam bahasa Inggris (mengingat listening saya buruk). Tidak mengapa terjadi pergeseran antara keinginan saya meningkatkan bahasa Inggris melalui reading comprehension menjadi listening comprehension. Selain itu, saya merasa dengan membeli audio book senilai USD 21,95, tidak akan membuat harta saya berkurang (bahkan lebih). Karena selain pengetahuan saya bertambah, saya juga bisa berbagi cerita dengan teman-teman saya. Beberapa teman senang mendengarkan resensi buku yang sudah saya baca atau saya dengarkan.

***

Sampai hari ini, saya belum selesai mendengarkan audiobook Cat Sense milik John Bradshaw. Namun dari tiga perempat yang sudah saya dengarkan, bukan hanya saya semakin mengenal Lengho, lebih dari itu saya semakin mengenal diri saya sendiri. Melalui Lengho saya makin paham apa yang harus saya lakukan untuk memperbaiki hidup saya. Dalam hal ini Lengho berperan penting dalam diri saya. Dengan segala perilakunya yang terkadang menyebalkan, Lengho adalah teman terbaik saya. Dia menyenangkan dan membuat saya bahagia. Dia memahami saya dengan caranya sendiri, yaitu dari perpective kucing.*

Fung Ie